5 September 1993, udara stadion El Monumental di Buinos Aires semakin dingin. Dari tribune, ada dua pemandangan kontras. Valderama, Asprilla, Cordoba dan seluruh tim Kolombia berpesta. Di sudut lainnya, Batistuta seperti tidak percaya. Diego Simoene pemilik nomor 10 Argentina sejak tahun 1991 pun tertunduk lesu. Bagaimana mungkin, pemilik dua gelar piala dunia dan pemuncak Copa …
PAPER ini akan saya mulai dari dari dialog yang sangat populer di Aceh, tapi tidak di Jakarta, antara Sukarno dengan Daud Beureuh. Sekitar tahun 1947. Dialog ini sebenarnya panjang, berisi tentang ajakan Sukarno, agar Aceh membantu perjuangan revolusi Indonesia yang sedang digugat oleh sekutu pasca kekalahan Jerman dan Jepang dalam perang dunia kedua. Daud beureuh, …
Bagi yang pernah hidup di zaman Orde Baru, tentulah pernah dibayangi oleh dua orang ini, Harmoko dan Moerdiono. Keduanya adalah penyambung lidah Suharto. Harmoko adalah Menteri Penerangan, sedangkan Moerdino bertindak sebagai Mensesneg.
BANGUNANNYA bergaya vintage dan bertingkat dua. Memiliki halaman parkir yang memadai untuk mobil dan sepeda motor. Untuk menandai nama tempat ini, tepat didepan bangunan, diletakkan plang nama, dengan tulisan terang: Fakultas Kopi. Tempat ini adalah cara untuk menikmati kopi yang datang dari Aceh. Wilayah di Indonesia dimana segala hal tentang kopi itu berasal. Untuk menegaskan …
DI ACEH, sedikit orang yang namanya selalu saja hadir dan dibicarakan selama dua dekade. Sebab untuk sampai pada maqam itu, yang bersangkutan harus memiliki keunikan diri, sekaligus konsistensi atas sesuatu yang diyakini. Sebab zaman, tidak memiliki tempat bagi orang yang mencla-mencle. Namun, zaman selalu memiliki tempat kepada mereka yang selalu percaya terhadap keyakinannya. Sekaligus memperjuangkannya.
26 Desember adalah cerita tentang gelombang besar. Menyapu apa yang ada di depannya. Gelombang itu membumbung tinggi. Hitam. Lalu, ada yang tidak sama setelah gelombang itu hadir di pagi itu. Kehidupan kita berubah. Cara bicara kita berubah. Penglihatan kita berubah. Bahkan, ingatan kita pun ikut berubah.
Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan, mengapa paska perdamaian Helsinki di tahun 2005, gagasan islamisme yang diimajinasikan oleh Daud Beureuh, lebih mendapatkan ruang politiknya di Aceh, daripada gagasan etnonasionalisme-nya Hasan Tiro. Padahal perdamaian ini adalah hasil perundingan alot antara Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pimpinan Hasan Tiro.
Tjita-tjita yang terkandung didalam dada pemimpin-pemmpin dan rakjat Atjeh dengan pembangunan “Darussalam”, ialah karena dorongan dan kesadaran hendak mendjadikan hari-depan Atjeh, selaku bagian Republik Indonesia, kembali megah dan berbahagia seperti zaman-zaman kebesaran dahulu, dengan tudjuan, bahwa disamping akan mendjadi sebuah mata-air ilmu pengetahuan, “Darussalam” djuga merupakan suatu lembaga, dimana manusia-manusia baru jang berdjiwa besar, berbudi …
Suasana perpustakaan Aceh Institute sore itu semakin ramai dan riuh. Sore itu, di pertengahan tahun 2012, untuk pertama kalinya buku Acehnologi, karangan Kamaruzzaman Bustamam Ahmad dibicarakan. Pembedah yang dihadirkan tidak tanggung-tanggung, diantaranya, Prof. Bahrein Sugihen, Prof. Yusni Sabi dan Prof. Darwis Sulaiman.
Tentu saja, kita menyambut baik keinginan dari Pemerintah Aceh yang mengajukan Laksamana Malahayati sebagai pahlawan nasional Republik Indonesia. Sebab, siapapun yang telah berjuang, mustilah diberikan penghargaan. Guna diingat sepanjang zaman, oleh generasi yang akan terus tumbuh.